Jumat, 10 Februari 2012

Lonceng Gelas Kaca

Lonceng kaca yang bergumam menghampiri perempat malam kini mulai merintih kesakitan oleh pecahannya sendiri. Merintih ditengah desiran angin yang semakin menepi ke dinding kacanya.
Sedang diluar semakin ramai oleh gelak tawa para Candala berjubah Begawan yang bersembunyi dibalik bareksa. Apakah ini drama?

Tidak, manis. Drama itu hanya sekedar “mulai dan berakhir”. Apakah mereka hidup? Ya, mereka hidup untuk saat mereka bertopeng. Tidak untuk setelahnya.

Coba dengarkan sebuah tembang yang disenandungkan seorang gadis dibalik bilik  rapuh di desamu. Sisipkan diantaranya sebuah not sang lonceng kaca yang bergeming.

Seperempat malam yang meredupkan bumi, demi kaca-kaca yang menari liar dijemari malam. Aku berkata padamu, kau, seseorang dihadapku, aku berikan jari manisku untuk membantumu mencintai seseorang yang kau inginkan.

Kasih, jangan pernah tunjukan padaku air muka pucatmu. Kau tak tahu siapa yang ku maksud “kasih”? Kau, ya, kau, kau yang melihatku. Kau yang matanya mengarah kaku padaku. Aku disini, didepan matamu. Bisakah kau tersenyum padaku? Cuaca disini sungguh tak menjadi sahabat bagi ku. Kau lihat? Aku menunggu balasan senyum mu. Biarkan senyum ini terus berkembang di bibirku, hingga akhirnya ku lihat pula kau tersenyum, yang mungkin entah untuk dan bersama siapa. Asalkan aku bisa melihat senyum itu.

Dengar, jangan sampai lonceng itu menghancurkan dindingnya sendiri. Kasih, embun yang kita rasakan tadi hanya milik fajar, pun lembayung yang kita lihat tadi hanya milik senja. Bahkan panas dan dinginnya bumi telah melantik  jagat sebagai ibu untuk sebuah aurora yang senantiasa melambai ditengah kebekuannya.

Demi segara yang melintang dari utara ke selatan, yang membujur dari timur ke barat. ku persiapkan sebuah jari untuk menjaga ku dari apapun yang bisa memecahkan gelas dalam genggaman ku.





- Lonceng Gelas Kaca -

            ESAGE
February, 10th 2012