Minggu, 29 Juli 2012

Ku Persembahkan Untuk Sang Pencinta

ijinkan aku mengucap kata cinta untuk yang terkasih diseberang sana...

"Suatu hari aku akan menemui mu, dalam cinta. Cinta yang terapung di samudera, yang melayang diantara bianglala. yang tertanam dalam bumi...Cinta yang terserak dalam laga"

hujan tetaplah hujan, bukan tanda aku menangis. badai tetaplah badai, bukan arti aku membenci. musim semi pun hanya musin semi, bukan saat hati bersemi. tak ingin aku melebihkan diriku sendiri dengan perantara apapun. hujan, badai, summer, winter, or everything.

aku malu membawa diriku untuk menemui mu. aku hanyalah aku, yang layu. kau tahu, aku berada di bawah kesederhanaan. ditudungi kekurangan. tak bisa aku memenuhi rindu mu yang menggebu, begitu pun rinduku.


"Tuhan selalu tahu apa yang ku inginkan. tapi hanya yang terbaik yang akan dia beri, untuk ku, untuk mu, untuk kita"

tetaplah mencintaiku, walau aku tak sanggup menemukan rindu dipelupuk matamu. tetaplah mencintaiku, walau ku tak sanggup memberi ruang pada jari-jemari kita untuk bercumbu. tetaplah mencintaiku, mencintai kekuranganku. mencintai jiwaku, bukan tubuhku, bukan diriku.



29 Juli 2012
-esage-

PUISI


Teringat jelas dalam benak ku. 15 tahun yang lalu. saat ibu masih terlihat sebagai perempuan. Saat itu ibu tengah mengajar tari anak-anak di desaku. Dan si kecil Fatma, aku, hanya memandanginya sambil memakan gula-gula kapas, duduk bersila memunggungi cermin besar dihadapan para penari. Tak mengerti apa yang ibu dan kakak-kakak itu lakukan. Memakai selendang yang diikat dipinggang, berlenggak-lenggok, kiri, kanan. Jari-jarinya lentik gemulai. Matanya melirik, kiri, kanan. Pantatnya bergoyang. Ibu bilang itu menari. Aku tak tahu, untuk apa orang menari?? Ibu malah tak pernah mengajariku untuk menari atau sekedar menyuruhku untuk mengikuti kakak-kakak itu berlatih di garasi yang disulap jadi “sanggar” itu. “Mengenalkan” ku dengan tarian pun tak pernah.
 
Suatu hari, saat semua orang disibukkan dengan agenda Negara, peringatan HUT  Republik Negara ini yang tinggal dua pekan lagi. ibu pun sibuk mempersiapkan anak didiknya agar berlatih lebih semangat. Ditengah kesibukannya ibu tiba-tiba menghampiri gadis kecil berusia 5 tahun ini, aku. Dengan 1 map tebal ditangannya, ibu berjalan ke arahku.
“Fatma, tidak mau ikut menari, nak?”, tanya nya. Dan aku hanya menggelengkan kepala.
Ibu hanya tersenyum, “ibu punya ini untuk Fat”, ibu mwmbuka map itu. Terlihat berlembar-lembar kertas berisi tulisan didalamnya.
“apa itu?” telunjuk rasa coklat ku menunjuk ke arah kertas-kertas itu.
“ini puisi, nak” ibu mengambil satu lembar dan memperlihatkannya padaku

“ka-e-ke..el-a-la(er-a-ra)…we-a-wa…ng. kelawang(kerawang). Be-e-be…ka-a-ka…es-i-si. Bekasi. Kelawang-bekasi??”  maklum aku baru saja akan masuk sekolah dasar taun ini.

“iya, ini puisinya Chairil Anwar. Dulu ibu pernah juara 1 baca puisi ini waktu SMP, pas acara tujuh belasan didesa dulu.”

“puisi itu apa?” sambil menjilat jari-jari yang berlumuran coklat. Kata yang asing, yang aku tahu hanya pussy, panggilan untuk kucing.

“puisi itu kata-kata yang indah. Kata-kata yang cantik.” Sesederhana itu, tapi anak berusia 5 tahun tahu apa?

“cantik? Mana? Fatma lebih cantik, ibu juga cantik” dengan wajah datar dan bibir penuh lumeran coklat

“fatma mau baca puisi?” Tanya nya

“Fat kan belum bisa baca. Ka-a-ka…em-i-mi…kami. Ye-a-ya…ng…yang.” Sambil terus mengeja dalam bisik

“nanti ibu ajarkan” ibu membelai rambut ikalku

“…” aku mengangguk. Aku tak tahu kenapa aku mengangguk.

Keesokan harinya, ibu membiarkan kakak-kakak itu menari sendiri tanpa didampingi ibu. Ibu malah mengajariku membaca “puisi”.

“kami yang kini terbaring antara Kerawang-Bekasi, tak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi, bla…bla…bla…” dengan lantang ibu mendeklamasikan si Kerawang-Bekasi.

Kakak-kakak yang tengah menari malah ikut menonton ibu bersamaku, dan ibu tak melarang (atau mungkin ibu tak menyadari). Kami semua bersila dihadapan perempuan yang seketika berubah seperti seorang pejuang.

“Prok-pok-prok…prok-prok-prok…” orang-orang bertepuk tangan setelah ibu menyelesaikan Kerawang-Bekasi itu. Aku ya ikut bertepuk tangan saja. Hehehe…

“lho, kalian bukannya latihan. Hayo sana lanjut latihannya”

“hehehe…hehehe…” kakak-kakak itu malah cengengesan, dan melanjutkan latihannya.

“nah, baca puisi itu seperti ibu tadi. Fat bisa?”

Aku mengangguk. Lho, kenapa mengangguk? Aku bahkan tak tau apa-apa.

Entah roh apa yang merasuki ku. Si Fatma kecil ini naik panggung tanggal 17  Agustus 1996 dengan percaya diri. Berdandan ala pejuang jaman ’45.

Suara mungilku saat itu mampu meredam semua suara yang ada disekitar. Semua mata tertuju pada Fatma kecil. Tak ada 1 orangpun yang bicara. Hening.

“…..Menjaga Bung Kalno, Menjaga Bung Hatta, Menjaga Bung Syahlil…” beberapa tersenyum geli mendengar nama Bung Karno menjadi “Bung Kalno” dan Bung Syahrir menjadi “Syahlil”, maklum aku masih belum fasih mengucap “R” diusia 5 tahun.

Setelah selesai, ibu dan ayahku yang berdiri di paling belakang kerumunan penonton terlihat bangga sekaligus geli. Dan ku lihat ibu menangis dalam senyum dan tepuk tangannya.

Kini dimataku ibu bukan lagi seorang perempuan, dia wanita. Wanita besar.




*terimakasih telah mengenalkanku dengan Puisi, ibu.
12 July 2012
-esage-

Rabu, 18 Juli 2012

Designer


Hari ini, menjadi hari yang ditunggu-tunggu sejak 5 tahun lalu. hari dimana aku mengenakan gaun yang dirancang spesial oleh ibuku sendiri. Ibu memang seorang penjahit terbaik yang pernah ku kenal.
Selama 30 tahun, hanya beberapa kali saja ayah dan ibu membelikan baju. Selebihnya?  Dari tangan ibu lah aku mendapat semua jalinan benang penutup aurat ini.

“Gaun Istimewa Dihari Istimewa, Dari Kasih Teristimewa”

Kurang lebih sebulan lamanya gaun ini dibuat. Penuh ketelitian, penuh detail, penuh kesungguhan…penuh harapan. Dengan semangat, ibu menggunting sehelai kain satin dan kain-kain lainnya, membaginya menjadi beberapa bagian. Setiap senti dan millimeter dihitungnya sesuai bentuk tubuhku. Satu persatu potongan mulai digabungnya,hingga membentuk sebuah gaun. Payet-payet mulai tersusun satu demi satu, berkilauan dibawah lampu tengah malam. Ternyata ibu pun menaburkan batuan Kristal diantaranya.

Yang ku tahu, itu pakaian termahal yang pernah ibu buat selama hidupnya. Ya, karena ibu hanya seorang penjahit biasa. Bukan desainer ternama, bukan.

Kini yang tampak bukan hanya sehelai kain satin berwarna putih, tapi gaun pernikahan bertabur Kristal.

Hhhmm….. Bu, hari ini aku menikah, seperti keinginanmu; dengan pria terbaik, juga gaun terbaik buatan mu. Sebelum aku sah sebagai seorang istri, aku ingin meminta maaf pada mu. Maaf selama ini aku terlalu mementingkan karier dan cita-citaku sebagai desainer dunia, hingga aku tak sempat menghiraukan sebuah impian seorang penjahit terbaik yang senantiasa membantu semua perwujudan cita-cita itu. Impian seorang ibu untuk melihat anak gadisnya menikah diusia 25 tahun.

5 tahun harapan itu berlalu begitu saja...

Hari ini, harusnya ibu ada disampingku. Seperti desainer dan modelnya yang bangga mempersembahkan karyanya didepan publik. Tapi, kejadian itu semakin membuat penyesalanku menggunung.
1 minggu setelah ibu menyelesaikan gaun ini, ibu pergi, selamanya... Tepat 1 hari setelah ulang tahunku yang ke 25.

5 tahun setelah itu, hingga detik ini, tak ada 1 pun rancangan yang ku buat. Aku menyesal. Niat ku untuk mewujudkan mimpimu yang terdahulu, ternyata melenyapkan impian mu yang teramat besar.

Menjadi desainer kelas dunia, itu impianmu yang tak terwujud. Tak ku sangka kau lebih menginginkan melihatku menggenakan gaun rancanganmu dihari pernikahanku.

Hanya gaun ini yang akan kupakai. Tak ada yang lain, bu…


Bandung, 17 July 2012
-esage-

Senin, 16 Juli 2012

dilema


Kesediaanku menyunting fajarmu
Bukan semata karena kekuasaanku
Aura dewi-mu sungguh
Membuat ksatria ini angkuh
Dinda, sudikah kau menjadi algojoku?

Bandung, 16 July 2012
-esage-

Kamis, 12 Juli 2012

Sepenggal Sepeninggal

...dan Fatma pun menghampiri si Ayah,,berdiri disampingnya. dengan tegas ia berkata, "ayah,,benarkah dimata mu bahwa aku telah dewasa?"
si ayah, sambil meletakkan cangkir yg baru saja ia teguk isinya, "rasanya tak perlu lagi ayah menjawab itu, Fat. Kau tahu dari mata ku. Kau bisa menilainya".
Fatma melangkah menuju kursi rotan klasik, tepat didepan lelaki tua itu. "kalau begitu, bolehkah Fat meminta sesuatu?"
"aku sudah tua, Fat. Boleh saja kau meminta, tapi romo mu ini tak bisa menuruti semua pinta mu seperti dulu." dengan sedikit menerawang, disertai raut senyum khasnya..."kau merengek meminta ku menggendongmu,merayu agar aku membawakan oleh-oleh sepulangnya aku dari kota, berupa sekantong penuh gula-gula... Fatma,,Fatma..manjanya anakku ini. Apa yg kau minta kini, nak?"
Fatma, tersenyum kecil..lantas berkata,
"biarkan Fat memilih, yah"
sedikit mengerutkan kening, "memilih? Apa maksudmu, Fat?"
"iya ayah, biarkan aku memilih." sedikit menghela nafas,,Fatma mempertegas suaranya, "Fat akan memilih lelaki itu untuk menjadi ayah dari anak-anakku kelak. sebenarnya dia ingin bertemu ayah,,tapi belum Fat perbolehkan. Fat ingin tau dulu, apa ayah telah siap melepas Fat?"
"jangan bergurau, Fat"
"tidak, yah. Fat telah memikirkannya matang-matang."
"bukan itu maksudku, Fat. Fatma Aryani, anak sematawayang ku, ayah sangat tak sudi kehilanganmu, tapi untuk yang satu itu, mau tak mau aku harus melepasmu, nduk. Usiamu pun sudah cukup untuk meninggalkan rumah ini dan ikut bersama suamimu.. kelak kau pun akan menjadi orang tua, sama seperti ayah dan ibu. ayah percaya padamu, Fat. hmmm...lalu kapan kau perbolehkan lelaki itu untuk bertemu ayah?"
"entahlah..."
"ada apa lagi, Fat? Kenapa? Kau ragu? Tadi ayah menangkap keyakinan yg cukup kuat. Ada apa?"
Fat memberi senyuman khas gadis jawa,,"tidak apa-apa, ayah. Fat hanya butuh waktu."
"hmmm...kau benar, Fat. Sudah saatnya romo mu yg hampir pikun ini menggendong cucu. yaa,,ndak mungkin toh ayahmu ini menggendongmu??"
si ayah tertawa,,namun Fat, hanya tersenyum malu.
"terimakasih, ayah."
si ayah hanya membalas dengan senyuman.

Agustus 2010
by.~kilang~


*cerpen ini pernah di posting di blog Semoet Kecil ( hanya-kata-ungkapan-ku.blogspot.com )
dengan judul yang sama, dan tanpa perubahan sedikitpun pada cerita.  KILANG is Kaki Langit adalah nama pena saya sebelum *ESAGE

Rabu, 11 Juli 2012

Di Surga Saja


Bunda bilang aku tak akan pernah mampu untuk berjalan. begitupun kata ayah.
Tapi mereka menyayangiku, sungguh. dan aku percaya itu.
Tapi...ternyata tanpa sepengetahuanku, bunda bicara pada ayah bahwa aku tak akan bisa bicara.
Aku tak sengaja mendengar pembicaraan itu. maaf ayah, bunda, tapi aku ingin berjalan dan sangat ingin bicara, sungguh.
Betapa terkejutnya aku mendengar seseorang berkata pada ibuku bahwa aku...aku buta. tapi aku bisa melihatmu, bunda.
Bagaimanapun keadaanku, aku tahu mereka sangat menyayangiku. melebihi cinta ayah pada bunda, melebihi cinta bunda pada ayah.
Cinta. apa yang bisa kulakukan jika aku tak bisa berjalan, tak bisa bicara, tak bisa melihat. sudah pasti mereka membenciku.
Bunda menghampiriku malam ini, dalam lelapku. membisikkan kasih kedalam mimpiku. "bunda sayang kamu, nak" kecupan dikening, ahhh…
Ayah menenangkan bunda dalam tangisnya. juga belaian dikepalaku. "kalian tak membenciku? dengan keadaanku nanti?"
Ku mohon, jangan menangis. aku baik-baik saja, bunda. aku bahagia bisa bersama ayah dan bunda walau dengan keadaan seperti itu.
Tapi, aku lebih bahagia jika aku tak melihat bunda menangis karena keadaan ku
Ku mohon, Tuhan, jangan turunkan aku ke bumi. biarkan aku disini saja agar mereka tak pernah melihat ketidaksempurnaanku.




11 July 2012
-esage-

Sabtu, 07 Juli 2012

Menenggelamkan (Apa Saja)


Aku mulai melangkah saat semua mata tak berada dipihak ku. selamat tinggal masa.

Bukan, aku tak hendak mencuri. hanya menghilang saat semua tak menyadarinya. dibawah sadar, mungkin? 

Bukan tak ingin seseorang menahan sebuah kepergian, tentu bukan. hanya akan lebih meringankan mereka.

Mereka? ya, siapa saja yang (pernah dan atau sedang) melihat, merasa, mendengar, menghirup, dan mengecap keberadaanku. itu saja.

Apa semua mata tengah ternganga ke suatu titik dan bukan pada ku? jika ya, aku segera melanjutkan langkah kedua ku.

Langkah ke tiga ku biarkan terbaur bersama apapun yang di injaknya. entah tanah, entah lautan, entah awan. 

Mata. entah apa yang dilihat. rawa bersama ogre kah, kastil bersama Rapunzle kah, atau... yah apalah itu. entah!!

Langkah ke seratus. (kau pikir aku menghitungnya? haha...TIDAK!!) riuh tepuk tangan terdengar dari tempat dimana ku bertolak.

Sebuah pesta sedang diadakan. menurutmu, mereka merayakan sebuah pernikahan putra kerajaan? atau perayaan atas hilangnya aku? 




7 July 2012
#esage

Kamis, 05 Juli 2012

Janji Kuil Kelopak Mawar


Kemarin aku memang bicara tentang kita, hanya kita
Kita yang merangkak menyebrangi waktu yang lantas disinggahi untuk mematri janji
Janji, ya janji itu. kau berjanji akan mengikrarkannya didepan kuil diseberang mata melirik
Lirik-melirik antarjaman, dan kau pun membacakan larik-larik puisi sumbing. sejak saat itu, hingga saat kemarin
Kemarin kau memang bicara tentang kita. kita yang mengagungkan janji. bukan nada prosais yang lagi-lagi sumbang
Janji kelopak mawar pada kuil. bukan janji diatas pekuburan
Lantas untuk apa ku kenakan gaun didepan kuil? jika bukan upacara janji kita yang diikrarkan, tapi upacara pelepasan?
Tanggalkan saja itu di titik terendah langit. biar aku merenggutnya kelak jika ku hilaf



5 Juli 2012