Teringat jelas dalam benak ku.
15 tahun yang lalu. saat ibu masih terlihat sebagai perempuan. Saat itu ibu
tengah mengajar tari anak-anak di desaku. Dan si kecil Fatma, aku, hanya
memandanginya sambil memakan gula-gula kapas, duduk bersila memunggungi cermin
besar dihadapan para penari. Tak mengerti apa yang ibu dan kakak-kakak itu
lakukan. Memakai selendang yang diikat dipinggang, berlenggak-lenggok, kiri,
kanan. Jari-jarinya lentik gemulai. Matanya melirik, kiri, kanan. Pantatnya
bergoyang. Ibu bilang itu menari. Aku tak tahu, untuk apa orang menari?? Ibu
malah tak pernah mengajariku untuk menari atau sekedar menyuruhku untuk
mengikuti kakak-kakak itu berlatih di garasi yang disulap jadi “sanggar” itu. “Mengenalkan”
ku dengan tarian pun tak pernah.
Suatu hari, saat semua orang
disibukkan dengan agenda Negara, peringatan HUT
Republik Negara ini yang tinggal dua pekan lagi. ibu pun sibuk
mempersiapkan anak didiknya agar berlatih lebih semangat. Ditengah kesibukannya
ibu tiba-tiba menghampiri gadis kecil berusia 5 tahun ini, aku. Dengan 1 map
tebal ditangannya, ibu berjalan ke arahku.
“Fatma, tidak mau ikut menari,
nak?”, tanya nya. Dan aku hanya menggelengkan kepala.
Ibu hanya tersenyum, “ibu
punya ini untuk Fat”, ibu mwmbuka map itu. Terlihat berlembar-lembar kertas
berisi tulisan didalamnya.
“apa itu?” telunjuk rasa
coklat ku menunjuk ke arah kertas-kertas itu.
“ini puisi, nak” ibu mengambil
satu lembar dan memperlihatkannya padaku
“ka-e-ke..el-a-la(er-a-ra)…we-a-wa…ng.
kelawang(kerawang). Be-e-be…ka-a-ka…es-i-si. Bekasi. Kelawang-bekasi??” maklum aku baru saja akan masuk sekolah dasar
taun ini.
“iya, ini puisinya Chairil
Anwar. Dulu ibu pernah juara 1 baca puisi ini waktu SMP, pas acara tujuh
belasan didesa dulu.”
“puisi itu apa?” sambil menjilat
jari-jari yang berlumuran coklat. Kata yang asing, yang aku tahu hanya pussy,
panggilan untuk kucing.
“puisi itu kata-kata yang
indah. Kata-kata yang cantik.” Sesederhana itu, tapi anak berusia 5 tahun tahu
apa?
“cantik? Mana? Fatma lebih
cantik, ibu juga cantik” dengan wajah datar dan bibir penuh lumeran coklat
“fatma mau baca puisi?” Tanya
nya
“Fat kan belum bisa baca.
Ka-a-ka…em-i-mi…kami. Ye-a-ya…ng…yang.” Sambil terus mengeja dalam bisik
“nanti ibu ajarkan” ibu
membelai rambut ikalku
“…” aku mengangguk. Aku tak
tahu kenapa aku mengangguk.
Keesokan harinya, ibu
membiarkan kakak-kakak itu menari sendiri tanpa didampingi ibu. Ibu malah mengajariku
membaca “puisi”.
“kami yang kini terbaring
antara Kerawang-Bekasi, tak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi,
bla…bla…bla…” dengan lantang ibu mendeklamasikan si Kerawang-Bekasi.
Kakak-kakak yang tengah menari
malah ikut menonton ibu bersamaku, dan ibu tak melarang (atau mungkin ibu tak
menyadari). Kami semua bersila dihadapan perempuan yang seketika berubah
seperti seorang pejuang.
“Prok-pok-prok…prok-prok-prok…”
orang-orang bertepuk tangan setelah ibu menyelesaikan Kerawang-Bekasi itu. Aku
ya ikut bertepuk tangan saja. Hehehe…
“lho, kalian bukannya latihan.
Hayo sana lanjut latihannya”
“hehehe…hehehe…” kakak-kakak
itu malah cengengesan, dan melanjutkan latihannya.
“nah, baca puisi itu seperti
ibu tadi. Fat bisa?”
Aku mengangguk. Lho, kenapa
mengangguk? Aku bahkan tak tau apa-apa.
Entah roh apa yang merasuki
ku. Si Fatma kecil ini naik panggung tanggal 17
Agustus 1996 dengan percaya diri. Berdandan ala pejuang jaman ’45.
Suara mungilku saat itu mampu
meredam semua suara yang ada disekitar. Semua mata tertuju pada Fatma kecil.
Tak ada 1 orangpun yang bicara. Hening.
“…..Menjaga Bung Kalno,
Menjaga Bung Hatta, Menjaga Bung Syahlil…” beberapa tersenyum geli mendengar
nama Bung Karno menjadi “Bung Kalno” dan Bung Syahrir menjadi “Syahlil”, maklum
aku masih belum fasih mengucap “R” diusia 5 tahun.
Setelah selesai, ibu dan
ayahku yang berdiri di paling belakang kerumunan penonton terlihat bangga
sekaligus geli. Dan ku lihat ibu menangis dalam senyum dan tepuk tangannya.
Kini dimataku ibu bukan lagi
seorang perempuan, dia wanita. Wanita besar.
*terimakasih telah
mengenalkanku dengan Puisi, ibu.
12 July 2012
-esage-