Jumat, 28 Februari 2014

Pukul Lima



Warna-warni dunia. Senja pukul lima. Serba-serbi kehidupan. Segala rupa tumpah ruah turun ke jalan.

Sore itu, seperti biasa, aku menanti “mobil jemputan” berwarna hijau yang setiap hari silihberganti menjemputku. Entah aku salah tempat, atau terlalu banyak manusia iseng, atau aku memang salah tempat dan terlalu banyak orang iseng, atau aku yang kurang beruntung. Sudah lebih dari setahun aku selalu menunggu angkot menjemput disini, di tempat ini; diantara dua pohon besar di trotoar jalan dimana sebuah resto makanan jepang ada di seberangnya. Tapi sore ini ada yang aneh dengan manusia-manusia yang hilir mudik di depanku. Pengendara motor yang tiba-tiba membunyikan klaksonnya berkali-kali, sambil matanya menatap kearahku. Awalnya ku pikir itu tanda untuk kendaraan di depannya, sebuah mobil yang berada cukup jauh di depan si pengendara motor. Tak lama setelah itu lewat pengendara motor lainnya. Kali ini seorang siswi sekolah menengah atas yang masih berseragam yang berboncengan dengan teman wanitanya. Keduanya mentap aneh padaku, dari balik helmnya ku lihat mata keduanya saling bergosip “eh, eh, lihat! Lihat kakak di trotoar itu”. Aku masih tak peduli, masih tenang menunggu angkot yang cukup lama membuat ku berdiri disini, sambil sesekali menatap jam yang melingkar di tangan, wajar. Angkot tak kunjung datang. Lagi-lagi ada hal yang membuat keningku mengkerut. Sebuah mobil berwarna putih dengan roda-roda besarnya terlihat dari kejauhan. “coba gue punya mobil sendiri, gak bakal pegel pinggir jalan kayak gini nunggu angkot!” dalam hati. Tiba-tiba ku lihat kaca jendela sebelah kirinya turun perlahan dan terbuka lebar tepat di depanku, dan seseorang di dalamnya tersenyum padaku, juga seseorang dibalik kemudinya. Jendela kembali tertutup seraya mobil mewah itu melaju. Aku mulai salah tingkah. Ada apa ini? Ada yang salah kah dengan ku? Pakaianku? Wajahku? Atau jangan-jangan aku dijahili teman sekantorku lagi seperti minggu lalu? Aku khawatir kejadian ranselku digantungi botol bekas air mineral itu terulang lagi, atau lebih parah dari itu. Aku mulai memperhatikan setiap detail yang melekat di tubuhku. Tapi semua tampak baik-baik saja dan masih teramat sangat wajar. Ya, wajah sedikit berminyak dan aroma parfum yang berbaur dengan bau keringat, apa salahnya? Tapi sungguh, yang terakhir ini membuat ku semakin mati gaya dan risih, sekaligus kesal. Dua orang pemuda dengan motor bututnya menggodaku. Sempat aku mengumpat, menyumpahi keduanya terjatuh dari motor dan kepala mereka yang tanpa pelindung itu tersungkur di atas aspal yang rusak. Hancur!

Berlipat-lipat kekesalanku. Terlebih karena angkot yang baru saja melintas di hadapanku samasekali tak menyisakan sedikitpun ruang untuk manusia mungil sepertiku. Waktu yang melingkar di tangan kiriku pun semakin mencekik nadi. Mencoba merogoh kantong celanaku, mencoba mengambil ponsel yang sedari siang sama sekali membisu. Sekedar “menghidupkan gaya” yang telah mati, aku membuka-buka ponsel tak karuan. Meng-klik apa saja yang jempolku inginkan. Mencoba mengalihkan suasana yang tidak nyaman ini. Dan entah ada berapa pasang mata yang menatapku aneh lagi.

Akhirnya yang ditunggu pun datang, dengan hanya menyisakan satu saja tempat untuk si mungil ini duduk. Baiklah, semoga manusia-manusia di dalam sini tidak menilaiku. Aku menyapu semua mata yang menyambut kedatanganku. Tiga orang remaja perempuan; mungkin berumur 13 tahun, seorang remaja lelaki gagah sekitar 16 tahun, dan seorang remaja lelaki lagi yang aku tahu dia sedikit kurang jantan setelah ku dengar dia berbicara dengan seseorang dibalik teleponnya, lalu ada seorang karyawati sebuah swalayan, 4 orang buruh pabrik, sisanya ibu-ibu dan bapak-bapak biasa saja. Aku masih teringat kejadian yang ku alami selama aku menunggu angkot ini. Tak lama seorang ibu memberhentikan laju angkot. Tepat di depan sebuah hotel. Wanita parubaya itu turun, lalu naik lagi wanita yang lebih muda. Usianya tak jauh berbeda denganku, sepertinya. Bedanya, dia mempunyai tinggi badan lebih tinggi beberapa centi diatasku, lebih montok, dan yang lebih menarik perhatian seisi angkot adalah dia mempunyai sepasang “sesuatu” yang sedikit menyembul diantara bajunya yang sedikit rendah dan sesak. Ya, sesuatu yang membuat remaja lelaki di depanku yang sedang bertelepon ria itu tak berkata apa-apa saat menatap wanita itu. Terpesona sepertinya. Ditambah rok yang sedikit meninggi saat wanita itu duduk disebelahku. Tiba-tiba otak ku berpikir, apa mungkin manusia-manusia yang sedari tadi berkelakuan aneh itu menganggapku seperti wanita disebelahku ini? Ah, masa? Tampilanku lebih mirip kuli bangunan dari pada wanita cantik nan seksi disebelahku ini. aku tersenyum dalam hati saja, menertawai pikiranku yang konyol. Mana mungkin orang-orang menganggapku seperti itu. Mustahil.

Suasana di dalam angkot mulai asik, menurutku. Ada tiga siswi SMP yang sedang membicarakan anak lelaki yang mereka sukai dengan gaya mereka yang lucu dan berapi-api. Mungkin aku juga seperti itu dulu. Remaja gagah disebelahku sedang menatap kosong butiran hujan yang jatuh di luar jendela, entah apa yang ia pikirkan. Seorang karyawati swalayan sedang asik dengan gadgetnya sembari tersenyum-senyum sendiri. Seorang remaja lelaki yang sedikit kemayu sedang mara-marah pada seseorang diseberang telepon sambil matanya sesekali melirik kearah sesuatu yang menyembul dibalik baju si wanita cantik di sebelahku. Seorang buruh pabrik sedang “curhat” kepada tiga lainnya tentang atasannya yang mendapat SP 2 dari bos besarnya gara-gara keteledoran anak buahnya. Sepasang suami istri parubaya dengan baju batiknya juga penumpang lainnya menjadi pendengar yang baik saja, entah mendengarkan cerita yang mana. Sementara si wanita cantik sedang asik dengan BBM nya. Sempat aku melirik ke arah ponsel pintarnya saat benda itu berbunyi. Yang ku lihat isinya “kamu masih dimana sayang?”, ku rasa dia sedang ada janji dengan kekasihnya. Apa yang aku lakukan? Aku menjadi pendengar yang baik untuk cerita mereka semua, sambil memperhatikan satu persatu raut wajah mereka. Dan sedikit pesan singkat dibalik ponsel pintar si wanita cantik. Hehehe…

Tak lama wanita itu memberhentikan angkot dengan suara lembutnya tepat di depan sebuah kafe. Yang aku tahu kafe itu berubah menjadi tempat dimana gemerlap lampu dan alunan musik dubstep berebut bersahutan jika malam datang. Mungkin pikiran semua orang diangkot ini sama dengan pikiranku saat tahu wanita itu berhenti disana. Benar saja, saat angkot berlalu, tiga remaja putri langsung saling bisik sambil matanya melirik ke arah wanita cantik yang berjalan masuk ke dalam kafe. Juga semua orang yang memperhatikan setiap langkah si wanita cantik itu seraya angkot kembali menembus gerimis.

Setelah itu suasana di dalam angkot ini kembali biasa saja, hingga aku kembali pulang ke rumah, kembali ke pelukan ibunda.

Pukul lima sore, segala rupa tumpah ruah turun ke jalan. Segala kelelahan, kepuasan, kesenangan dimulai sekaligus diakhiri disini. Pukul lima sore. Tanpa mega menjingga.


Subang, 26 February 2014
-esage-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar