Warna-warni dunia. Senja pukul lima. Serba-serbi
kehidupan. Segala rupa tumpah ruah turun ke jalan.
Sore itu,
seperti biasa, aku menanti “mobil jemputan” berwarna hijau yang setiap hari
silihberganti menjemputku. Entah aku salah tempat, atau terlalu banyak manusia
iseng, atau aku memang salah tempat dan terlalu banyak orang iseng, atau aku
yang kurang beruntung. Sudah lebih dari setahun aku selalu menunggu angkot
menjemput disini, di tempat ini; diantara dua pohon besar di trotoar jalan
dimana sebuah resto makanan jepang ada di seberangnya. Tapi sore ini ada yang
aneh dengan manusia-manusia yang hilir mudik di depanku. Pengendara motor yang
tiba-tiba membunyikan klaksonnya berkali-kali, sambil matanya menatap kearahku.
Awalnya ku pikir itu tanda untuk kendaraan di depannya, sebuah mobil yang
berada cukup jauh di depan si pengendara motor. Tak lama setelah itu lewat pengendara
motor lainnya. Kali ini seorang siswi sekolah menengah atas yang masih
berseragam yang berboncengan dengan teman wanitanya. Keduanya mentap aneh
padaku, dari balik helmnya ku lihat mata keduanya saling bergosip “eh, eh,
lihat! Lihat kakak di trotoar itu”. Aku masih tak peduli, masih tenang menunggu
angkot yang cukup lama membuat ku berdiri disini, sambil sesekali menatap jam
yang melingkar di tangan, wajar. Angkot tak kunjung datang. Lagi-lagi ada hal
yang membuat keningku mengkerut. Sebuah mobil berwarna putih dengan roda-roda
besarnya terlihat dari kejauhan. “coba
gue punya mobil sendiri, gak bakal pegel pinggir jalan kayak gini nunggu
angkot!” dalam hati. Tiba-tiba ku lihat kaca jendela sebelah kirinya turun
perlahan dan terbuka lebar tepat di depanku, dan seseorang di dalamnya
tersenyum padaku, juga seseorang dibalik kemudinya. Jendela kembali tertutup
seraya mobil mewah itu melaju. Aku mulai salah tingkah. Ada apa ini? Ada yang
salah kah dengan ku? Pakaianku? Wajahku? Atau jangan-jangan aku dijahili teman
sekantorku lagi seperti minggu lalu? Aku khawatir kejadian ranselku digantungi
botol bekas air mineral itu terulang lagi, atau lebih parah dari itu. Aku mulai
memperhatikan setiap detail yang melekat di tubuhku. Tapi semua tampak
baik-baik saja dan masih teramat sangat wajar. Ya, wajah sedikit berminyak dan
aroma parfum yang berbaur dengan bau keringat, apa salahnya? Tapi sungguh, yang
terakhir ini membuat ku semakin mati gaya dan risih, sekaligus kesal. Dua orang
pemuda dengan motor bututnya menggodaku. Sempat aku mengumpat, menyumpahi
keduanya terjatuh dari motor dan kepala mereka yang tanpa pelindung itu
tersungkur di atas aspal yang rusak. Hancur!
Berlipat-lipat
kekesalanku. Terlebih karena angkot yang baru saja melintas di hadapanku
samasekali tak menyisakan sedikitpun ruang untuk manusia mungil sepertiku.
Waktu yang melingkar di tangan kiriku pun semakin mencekik nadi. Mencoba
merogoh kantong celanaku, mencoba mengambil ponsel yang sedari siang sama
sekali membisu. Sekedar “menghidupkan gaya” yang telah mati, aku membuka-buka
ponsel tak karuan. Meng-klik apa saja yang jempolku inginkan. Mencoba
mengalihkan suasana yang tidak nyaman ini. Dan entah ada berapa pasang mata
yang menatapku aneh lagi.
Akhirnya yang
ditunggu pun datang, dengan hanya menyisakan satu saja tempat untuk si mungil
ini duduk. Baiklah, semoga manusia-manusia di dalam sini tidak menilaiku. Aku
menyapu semua mata yang menyambut kedatanganku. Tiga orang remaja perempuan;
mungkin berumur 13 tahun, seorang remaja lelaki gagah sekitar 16 tahun, dan seorang
remaja lelaki lagi yang aku tahu dia sedikit kurang jantan setelah ku dengar dia berbicara dengan seseorang dibalik
teleponnya, lalu ada seorang karyawati sebuah swalayan, 4 orang buruh pabrik,
sisanya ibu-ibu dan bapak-bapak biasa saja. Aku masih teringat kejadian yang ku
alami selama aku menunggu angkot ini. Tak lama seorang ibu memberhentikan laju
angkot. Tepat di depan sebuah hotel. Wanita parubaya itu turun, lalu naik lagi
wanita yang lebih muda. Usianya tak jauh berbeda denganku, sepertinya. Bedanya,
dia mempunyai tinggi badan lebih tinggi beberapa centi diatasku, lebih montok,
dan yang lebih menarik perhatian seisi angkot adalah dia mempunyai sepasang
“sesuatu” yang sedikit menyembul diantara bajunya yang sedikit rendah dan sesak.
Ya, sesuatu yang membuat remaja lelaki di depanku yang sedang bertelepon ria
itu tak berkata apa-apa saat menatap wanita itu. Terpesona sepertinya. Ditambah
rok yang sedikit meninggi saat wanita itu duduk disebelahku. Tiba-tiba otak ku
berpikir, apa mungkin manusia-manusia yang sedari tadi berkelakuan aneh itu
menganggapku seperti wanita disebelahku ini? Ah, masa? Tampilanku lebih mirip
kuli bangunan dari pada wanita cantik nan seksi disebelahku ini. aku tersenyum
dalam hati saja, menertawai pikiranku yang konyol. Mana mungkin orang-orang
menganggapku seperti itu. Mustahil.
Suasana di
dalam angkot mulai asik, menurutku. Ada tiga siswi SMP yang sedang membicarakan
anak lelaki yang mereka sukai dengan gaya mereka yang lucu dan berapi-api.
Mungkin aku juga seperti itu dulu. Remaja gagah disebelahku sedang menatap
kosong butiran hujan yang jatuh di luar jendela, entah apa yang ia pikirkan. Seorang
karyawati swalayan sedang asik dengan gadgetnya sembari tersenyum-senyum
sendiri. Seorang remaja lelaki yang sedikit kemayu sedang mara-marah pada
seseorang diseberang telepon sambil matanya sesekali melirik kearah sesuatu
yang menyembul dibalik baju si wanita cantik di sebelahku. Seorang buruh pabrik
sedang “curhat” kepada tiga lainnya tentang atasannya yang mendapat SP 2 dari
bos besarnya gara-gara keteledoran anak buahnya. Sepasang suami istri parubaya
dengan baju batiknya juga penumpang lainnya menjadi pendengar yang baik saja,
entah mendengarkan cerita yang mana. Sementara si wanita cantik sedang asik
dengan BBM nya. Sempat aku melirik ke arah ponsel pintarnya saat benda itu
berbunyi. Yang ku lihat isinya “kamu masih dimana sayang?”, ku rasa dia sedang
ada janji dengan kekasihnya. Apa yang aku lakukan? Aku menjadi pendengar yang
baik untuk cerita mereka semua, sambil memperhatikan satu persatu raut wajah
mereka. Dan sedikit pesan singkat dibalik ponsel pintar si wanita cantik.
Hehehe…
Tak lama
wanita itu memberhentikan angkot dengan suara lembutnya tepat di depan sebuah
kafe. Yang aku tahu kafe itu berubah menjadi tempat dimana gemerlap lampu dan
alunan musik dubstep berebut
bersahutan jika malam datang. Mungkin pikiran semua orang diangkot ini sama
dengan pikiranku saat tahu wanita itu berhenti disana. Benar saja, saat angkot
berlalu, tiga remaja putri langsung saling bisik sambil matanya melirik ke arah
wanita cantik yang berjalan masuk ke dalam kafe. Juga semua orang yang
memperhatikan setiap langkah si wanita cantik itu seraya angkot kembali
menembus gerimis.
Setelah itu
suasana di dalam angkot ini kembali biasa saja, hingga aku kembali pulang ke
rumah, kembali ke pelukan ibunda.
Pukul lima sore, segala rupa tumpah ruah turun ke
jalan. Segala kelelahan, kepuasan, kesenangan dimulai sekaligus diakhiri
disini. Pukul lima sore. Tanpa mega menjingga.
Subang, 26
February 2014
-esage-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar