Sabtu, 11 Agustus 2012

Jamuan Rahasia


“Bagaimana jika ku (masih) mencintai orang yang telah mempertemukan aku dengan suamiku, Juga suami ku yang (masih) memikirkan gadis yang dulu dicintainya?”
Hari ini adalah tepat tahun ke tiga pernikahan kami; aku dan suami ku. 3 tahun berlalu tanpa tangisan seorang buah hati. Bukan karena salah satu dari kami yang ‘lemah’. Kami terlalu sibuk dengan pekerjaan dan mimpi masing-masing.
Dirga, suamiku, sudah tak ada di rumah sejak fajar hingga nyaris tengah malam, nyaris setiap hari. Sedangkan aku, aku sibuk mengejar impian ku sebagai seorang penulis. Dan, ya, sekarang aku seorang penulis. Penulis yang selalu dikejar deadline. Bukan kesibukan yang membuat kami bertahan tanpa buah hati, bukan juga karena ‘siapa yang mandul’. Kami memang tak berusaha.
Tepat 3 tahun yang lalu kami menggelar pernikahan cukup mewah di sebuah hotel berbintang di kota ini. Pernikahan yang didasari cinta kasih sudah sepantasnya mendapat perlakuan istimewa. Pernikahan yang (seharusnya) hanya (boleh) sekali seumur hidup, tentu saja membuat kami ingin melakukannya dengan sangat baik dan sempurna. Dia mencintaiku sepenuh hati, begitupun aku. Menjalin hubungan pacaran seperti yang lain? Kami melewatinya dengan sangat bahagia, suka dan duka kami bagi bersama. 1 tahun saja, cukup untuk kami saling mengenal luar dalam. Dia melamarku, dan tanggal 1 Januari 3 tahun lalu kami menikah.
Kalian pikir apa yang kami lakukan saat malam pertama? Kami hanya membaca sebuah bacaan di depan kami. Dia, suami (baru) ku, asik melihat-lihat agendanya, laporan pekerjaannya, dll. Aku? Aku asik di depan laptop, menyelesaikan hutang tulisan ku kepada penerbit yang masih menggunung-gunung. Tak pernah ada ‘malam pertama’ dalam kehidupan rumah tangga kami. Tak ada malam ke dua, ke tiga, keseratus, keseribu, tidak! Tidak ada! Kalian pikir kami akan memiliki anak dari kebiasaan seperti itu? Kalian pikir aku pecinta sesame jenis hingga aku tak mau melakukannya dengan suamiku sendiri? Tidak, aku mencintai suamiku lebih dari hidupku, begitupun suamiku terhadapku. Sekali lagi, kami saling mencintai.
Hari ini, pada hari ulang tahun pernikahan kami yang ke tiga, aku menyiapkan makan malam spesial untuk Dirga. Dia pun berjanji akan pulang cepat, sebelum senja berpulang. Dan benar, tepat pukul 18.12 mobilnya sudah terparkir rapi di garasi. Ku tengok, seorag lelaki jangkung kekar keluar dari dalamnya dengan wajah berbinar melihat sambutan hangat dari senyumku di daun pintu.
“assalamualaiakum…” ku raih tangannya, dan ku cium punggung tangannya
“wa’alaikumsalam…” jawabku plus senyum terindahku
“kali ini aku tepat janji kan, sayang?” tangannya melingkar di pinggangku juga sebuah kecupan dikening
“iya mas, coba kalau setiap hari…” dan dia tersenyum, kami pun berlalu masuk ke dalam rumah.
Aku menyiapkan makan malam selagi Dirga mandi. Di meja makan bulat ini tersimpan rapi semua makanan kesukaan suamiku. Makanan rumahan yang sudah lama tak pernah ku masak. Ya, karena kami tak pernah makan di rumah. Sebuah lilin cantik juga menambah indah malam ini. Dirga mematikan lampu disekitar meja makan, hanya lilin dan cinta kami yang menerangi malam ini. selesai menyantap semua yang ada di atas meja, Aku memulai pembicaraan yang lebih serius.
“sampai kapan kita akan seperti ini, mas?” tanyaku tenang dengan suara rendah, sengaja ku buat semerdu mungkin agar Dirga tak terkejut dengan pertanyaan itu.
            Dirga terdiam, cukup lama. Mungkin karena aku tak sabar menanti jawabannya, 10 detik pun terasa 1 jam. Akhirnya ia menarik nafas panjang, menahannya, dan terbuang; seperti cinta.
“baiknya kau tanya hatimu juga, Fat” jawabnya dengan mata kosong menatap lilin yang tinggal setengah.
“aku lelah, mas. 1 tahun aku berusaha mencintaimu lebih dan lebih. Hingga kita menikah, dan aku memang mencintaimu. 3 tahun setelahnya, hingga detik ini aku berada tepat didepan matamu yang mulai nanar, aku lelah. Lelah membohongi hatiku, cintaku pada Badai terlalu besar, melebihi cintaku padamu, mas. Aku tahu, cintamu pada Sekar pun tak akan bisa tergantikan oleh hadirku dihari tuamu kelak. Sekar yang selama ini ada dalam mimpi mu, mas. Cintamu padaku tak pernah sebesar cintamu pada cinta pertamamu itu, mas.” Emosiku mulai tak terkendali, nafasku beradu dengan kata, tanganku gemetar.
“………………” Dirga hanya terdiam
“kenapa diam saja? Lakukan sesuatu! Kembalilah pada Sekarmu!!”
“lalu apa? Kau akan kembali pada Badai?? Badai sudah menjadi suami orang, Fat. Dan aku tak mungkin kembali pada Sekar” ku rasa perang segera dimulai…
“tentu saja aku tak akan kembali padanya. Aku tak seburuk itu, mengharapkan suami orang. Hah!! Aku hanya ingin membunuh diriku sendiri dengan kesendirian, dan tanpa beban sebuah kesalahan dan dosa terhadap suamiku.”
“tidak, Fat. Aku tak akan kembali pada Sekar!!”
“kau tak akan kembali padanya, tapi kau tak pernah memberiku cinta dari hatimu, dan hanya Sekar, Sekar, Sekar yang ada dalam hati dan otak mu, mas. Hah!!” aku mulai beranjak dari meja makan, Dirga pun mengikuti ku
“FATMA!! Berhenti!! Baiklah, lakukan apa saja yang kau inginkan!”
“ceraikan aku, dan kembalilah pada Sekarmu!!” suaraku merendah, dan berlalu


-esage-
11 agustus 2012

2 komentar:

  1. sebuah cerita yang realisme, tpi mengandung aliran psikologisme juga, dimana sang pengarang (esage)memainkan emosional jiwanya dalam cerita, dan lebih terasa dalam penyajiannya, simpel tapi mengikat.

    BalasHapus
  2. makasih :) sering2 kasih komen ya, biar makin yahud tulisannya :)

    BalasHapus