“Bagaimana
jika ku (masih) mencintai orang yang telah mempertemukan aku dengan suamiku,
Juga suami ku yang (masih) memikirkan gadis yang dulu dicintainya?”
Hari ini adalah tepat tahun ke tiga
pernikahan kami; aku dan suami ku. 3 tahun berlalu tanpa tangisan seorang buah
hati. Bukan karena salah satu dari kami yang ‘lemah’. Kami terlalu sibuk dengan
pekerjaan dan mimpi masing-masing.
Dirga, suamiku, sudah tak ada di
rumah sejak fajar hingga nyaris tengah malam, nyaris setiap hari. Sedangkan
aku, aku sibuk mengejar impian ku sebagai seorang penulis. Dan, ya, sekarang
aku seorang penulis. Penulis yang selalu dikejar deadline. Bukan kesibukan yang
membuat kami bertahan tanpa buah hati, bukan juga karena ‘siapa yang mandul’.
Kami memang tak berusaha.
Tepat 3 tahun yang lalu kami
menggelar pernikahan cukup mewah di sebuah hotel berbintang di kota ini.
Pernikahan yang didasari cinta kasih sudah sepantasnya mendapat perlakuan
istimewa. Pernikahan yang (seharusnya) hanya (boleh) sekali seumur hidup, tentu
saja membuat kami ingin melakukannya dengan sangat baik dan sempurna. Dia
mencintaiku sepenuh hati, begitupun aku. Menjalin hubungan pacaran seperti yang
lain? Kami melewatinya dengan sangat bahagia, suka dan duka kami bagi bersama.
1 tahun saja, cukup untuk kami saling mengenal luar dalam. Dia melamarku, dan
tanggal 1 Januari 3 tahun lalu kami menikah.
Kalian pikir apa yang kami
lakukan saat malam pertama? Kami hanya membaca sebuah bacaan di depan kami.
Dia, suami (baru) ku, asik melihat-lihat agendanya, laporan pekerjaannya, dll.
Aku? Aku asik di depan laptop, menyelesaikan hutang tulisan ku kepada penerbit
yang masih menggunung-gunung. Tak pernah ada ‘malam pertama’ dalam kehidupan
rumah tangga kami. Tak ada malam ke dua, ke tiga, keseratus, keseribu, tidak!
Tidak ada! Kalian pikir kami akan memiliki anak dari kebiasaan seperti itu?
Kalian pikir aku pecinta sesame jenis hingga aku tak mau melakukannya dengan
suamiku sendiri? Tidak, aku mencintai suamiku lebih dari hidupku, begitupun
suamiku terhadapku. Sekali lagi, kami saling mencintai.
Hari ini, pada hari ulang tahun
pernikahan kami yang ke tiga, aku menyiapkan makan malam spesial untuk Dirga.
Dia pun berjanji akan pulang cepat, sebelum senja berpulang. Dan benar, tepat
pukul 18.12 mobilnya sudah terparkir rapi di garasi. Ku tengok, seorag lelaki
jangkung kekar keluar dari dalamnya dengan wajah berbinar melihat sambutan
hangat dari senyumku di daun pintu.
“assalamualaiakum…” ku raih
tangannya, dan ku cium punggung tangannya
“wa’alaikumsalam…” jawabku plus
senyum terindahku
“kali ini aku tepat janji kan,
sayang?” tangannya melingkar di pinggangku juga sebuah kecupan dikening
“iya mas, coba kalau setiap
hari…” dan dia tersenyum, kami pun berlalu masuk ke dalam rumah.
Aku
menyiapkan makan malam selagi Dirga mandi. Di meja makan bulat ini tersimpan
rapi semua makanan kesukaan suamiku. Makanan rumahan yang sudah lama tak pernah
ku masak. Ya, karena kami tak pernah makan di rumah. Sebuah lilin cantik juga
menambah indah malam ini. Dirga mematikan lampu disekitar meja makan, hanya
lilin dan cinta kami yang menerangi malam ini. selesai menyantap semua yang ada
di atas meja, Aku memulai pembicaraan yang lebih serius.
“sampai kapan kita akan seperti
ini, mas?” tanyaku tenang dengan suara rendah, sengaja ku buat semerdu mungkin
agar Dirga tak terkejut dengan pertanyaan itu.
Dirga terdiam, cukup lama. Mungkin
karena aku tak sabar menanti jawabannya, 10 detik pun terasa 1 jam. Akhirnya ia
menarik nafas panjang, menahannya, dan terbuang; seperti cinta.
“baiknya kau tanya hatimu juga,
Fat” jawabnya dengan mata kosong menatap lilin yang tinggal setengah.
“aku lelah, mas. 1 tahun aku
berusaha mencintaimu lebih dan lebih. Hingga kita menikah, dan aku memang
mencintaimu. 3 tahun setelahnya, hingga detik ini aku berada tepat didepan
matamu yang mulai nanar, aku lelah. Lelah membohongi hatiku, cintaku pada Badai
terlalu besar, melebihi cintaku padamu, mas. Aku tahu, cintamu pada Sekar pun
tak akan bisa tergantikan oleh hadirku dihari tuamu kelak. Sekar yang selama
ini ada dalam mimpi mu, mas. Cintamu padaku tak pernah sebesar cintamu pada
cinta pertamamu itu, mas.” Emosiku mulai tak terkendali, nafasku beradu dengan
kata, tanganku gemetar.
“………………” Dirga hanya terdiam
“kenapa diam saja? Lakukan
sesuatu! Kembalilah pada Sekarmu!!”
“lalu apa? Kau akan kembali pada
Badai?? Badai sudah menjadi suami orang, Fat. Dan aku tak mungkin kembali pada
Sekar” ku rasa perang segera dimulai…
“tentu saja aku tak akan kembali
padanya. Aku tak seburuk itu, mengharapkan suami orang. Hah!! Aku hanya ingin
membunuh diriku sendiri dengan kesendirian, dan tanpa beban sebuah kesalahan
dan dosa terhadap suamiku.”
“tidak, Fat. Aku tak akan kembali
pada Sekar!!”
“kau tak akan kembali padanya,
tapi kau tak pernah memberiku cinta dari hatimu, dan hanya Sekar, Sekar, Sekar
yang ada dalam hati dan otak mu, mas. Hah!!” aku mulai beranjak dari meja makan,
Dirga pun mengikuti ku
“FATMA!! Berhenti!! Baiklah,
lakukan apa saja yang kau inginkan!”
“ceraikan aku, dan kembalilah
pada Sekarmu!!” suaraku merendah, dan berlalu
-esage-
11 agustus 2012
sebuah cerita yang realisme, tpi mengandung aliran psikologisme juga, dimana sang pengarang (esage)memainkan emosional jiwanya dalam cerita, dan lebih terasa dalam penyajiannya, simpel tapi mengikat.
BalasHapusmakasih :) sering2 kasih komen ya, biar makin yahud tulisannya :)
BalasHapus