Semakin hari Lastri
semakin dekat dengan lelaki itu. Setiap berangkat sekolah, lelaki itu pasti
sudah menunggu di depan gang rumah Lastri. Dengan langkah senang Lastri pun
menuju mobil yang terparkir tepat di depan gang itu. Menyambut senyum sang
lelaki itu dengan senyum khas gadis 16 tahun. Pulang sekolah pun demikian,
mobil itu selalu mengantar Lastri kembali ke rumah.
Sebulan terakhir ini,
setiap akhir pekan, Lastri tak pernah ada di rumah. Lelaki itu selalu
mengajaknya keluar; jalan-jalan, berbelanja pakaian, buku, dll. Orang tua
Lastri mulai curiga dengan belanjaan Lastri yang kerap dibawanya pulang.
Pakaian baru, jam tangan baru, buku-buku baru, dan banyak lagi. Dari mana semua
itu? Orang tua Lastri tak pernah memberi uang lebih untuk membeli barang-barang
sebanyak itu. Apalagi untuk membeli barang-barang bermerk seperti itu. Orang tua
Lastri bukan orang berada. Ayahnya hanya seorang guru SD.
Suatu hari ayah Lastri
yang sudah menaruh curiga pada anaknya itu tak sengaja memergoki Lastri yang
baru saja turun dari mobil sepulang sekolah. Ayah Lastri yang saat itu baru
saja pulang dari sekolah tempat ia bekerja melihat wajah lelaki dalam mobil itu
dari kaca mobil yang terbuka saat Lastri melambaikan salam perpisahan pada
lelaki itu.
Setiba ayahnya di
rumah, Lastri yang lebih dulu sampai langsung diserang pertanyaan bertubi-tubi
dari sang ayah. Sang ayah memperingatkan Lastri agar tak menemui lelaki itu
lagi. Sedangkan sang ibu hanya terdiam di atas kusi roda melihat anaknya yang
manis itu meneteskan air mata dan berlari ke kamarnya.
Ternyata Lastri tak
sedikitpun menghiraukan peringatan ayahnya. Keesokan harinya Lastri tetap
diantar-jemput oleh lelaki seumuran ayahnya itu. Bahkan Sabtu ini Lastri tak
pulang ke rumahnya. Lastri menghilang sehabis pulang sekolah. Orang tua Lastri
mulai panik karena ponsel Lastri pun tidak bisa dihubungi. Ayahnya mulai
meghubungi teman-teman sekolah Lastri, dan mendatangi rumah Sekar, sahabat Lastri.
Tapi tak satupun teman Lastri yang tau kemana dan dengan siapa Lastri pergi.
Ayahnya yakin Lastri pergi bersama lelaki yang akhir-akhir ini sering
antar-jemput Lastri. Tapi kemana? Ibu Lastri hanya bisa meyakinkan suaminya
bahwa Lastri akan baik-baik saja. Tapi ayahnya tetap tak bisa tenang sebelum
anak gadisnya kembali ke rumah.
Akhirnya Lastri pulang
senin sore, diantarkan mobil yang sudah tak asing lagi dimata sang ayah. Dan
lagi-lagi sang ayah memergokinya. Setibanya dirumah Lastri langsung mendapat
tamparan dari ayahnya. PLAKK!!!
“kenapa sih? Kenapa aku gak
boleh ketemu ayah kandung ku sendiri,
hah? Kenapa? kamu Cuma ayah tiri aku!! Kamu gak berhak ngelarang aku buat
ketemu ayah aku!!!” (sambil memegang bekas tamparan ayahnya,
ayah tirinya)
“tapi lelaki itu sudah menelantarkan
kalian, Lastri, kau dan ibumu. Ya, aku memang ayah tirimu. Tapi aku tak pernah
sedikitpun menganggap mu sebagai anak tiri. Aku menyayangimu sama seperti
Putra, adik tirimu. Kau sama seperti anak kandungku. Ayah sayang kamu Lastri. Kamu
tau, Lastri? Dia lah lelaki yang sengaja menabrak ibumu hingga lumpuh seperti
sekarang. Lelaki itu, ayah mu sengaja melakukannya karena menginginkan seluruh
kekayaan ibumu.”
“apa?”
Lastri
tak kuasa menahan tubuh langsingnya, lemah, badannya terserak begitu saja di
lantai.
-the
end-
Subang,
26 June 2012
-esage-
-esage-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar