selamat pagi (siang, sore, atau malam), Dalang…
Lagi-lagi hanya suratku yang
menyapa mu. Bersama rindu yang tertinggal sepeninggal mu, tentu saja. Bagaimana
kabarmu hari ini, Dalang?? Senang rasanya andai aku tahu kabarmu setiap saat
tanpa harus menunggu berhari-hari sampai surat darimu tiba di depan mataku. Hahhh…bukannya
aku mengeluh atas semua keadaan ini, tapi… ya kau pun tahu bagaimana rasanya.
Sendiri, sepi, kosong, hampa, dan lain-lain, dan lain-lain, dan lain-lain.
Kepergianmu bersama 2 temanmu tempo hari menyisakan rindu yang harus ku pikul
sampai mataku dan matamu bersatu kembali suatu hari nanti.
Malam ini, seperti biasa, kau
tak di sampingku. Mungkin kau tengah berjalan menyusuri hutan pinus menuju puncak
Gunung Sindoro, atau mungkin tengah menikmati letih mu disalah satu pos
pendakian. Selalu, doaku menyertaimu. Tapi, ku harap kau tak melakukan ini lagi
saat perjalananmu; kau menghubungiku, membiarkanku mendengar suaramu yang hanya
berkata “Hallo…” lalu menghilang begitu saja. Ditengah rindu, kau pikir itu
akan mengobati rindu dan kekhawatiranku? Tidak, Tuan Dalang!! Itu justru
membunuhku. Alam tak kan ijinkan kau membagi waktu penjelajahanmu untuk ku. Aku
tahu itu. Dan kata-kata yang kau layangkan untukku, semakin membuat dadaku
sesak.
Malam ini, seperti kemarin dan tempo
hari, mataku kosong melongpong di atap rumah, bersama genting yang menggigil,
namun kini sendiri, tanpamu, ya…tentu
saja. Tunggu dulu, jangan dulu berhenti membaca surat ini. Aku tahu kau
bosan membaca semua keluh kesah ini setiap kali suratku tiba. Rindu, rindu,
rindu…aku pun bosan menampung semuanya sendiri tanpa ada yang mengobati. Kau
pikir aku akan menyerah? Tidak!! Tentu tidak. Aku hanya ingin sedikit
mengurangi rinduku, walau itu mustahil.
Malam ini, aku kembali mendekat
kepangkuanmu, (mungkin). Tak pernah ku sangka hari ini kan tiba, dimana aku
benar-benar berjalan kearahmu. Tanpa rencana. Aku benar-benar dijalanmu, Tuan
Dalang. Jangan terkejut jika esok pagi aku berada tepat di depan pintu kamarmu
dan siap memeluk mu erat. Mencium lagi bau tubuhmu, melepas rindu (atau semakin
membunuh ku(?) ). Ya, walau lagi-lagi kehadiranku tak pernah disambut tawa. Ya,
selalu, kau bertanya “untuk apa?”, padahal sudah jelas ku datang (selalu)
untukmu, siapa lagi?! Apa aku tak seharusnya datang padamu? Ditengah perjalanan
ini rasanya aku ingin kembali saja kerumah; tidur bersama Pippow, diatas kasur
yang nyaman dengan kelip bintang bergelantungan, bukan duduk berjam-jam
mengikuti roda yang berputar mengantarkanku ke kotamu. Sudah lama aku menanti
hari ini, tapi kau mematahkan semangatku begitu saja. Cukup!!!
Dan, malam ini, malam terahir
aku di kotamu. Terimakasih untuk 6 jam yang kita lewati. Walau akhirnya kau
(kembali) mengecewakanku. Ya, aku kecewa. Tak usah tanya penyebabnya, aku tak
ingin lagi membicarakan itu. Semoga tak terulang (walau mungkin sulit untukmu) !!
Malam itu, kau berkata padaku
tentang cita-citamu. Aku tak bisa berbuat banyak, hanya doa, dan ……(hanya ku
sebut dalam hati). Banyak kekhawatiranku, terlalu banyak mungkin. Beberapa
kejadian membuatku takut untuk melangkah. Kejadian lainnya membuat ku tetap
bertahan. Sahabat-sahabatku pun menjadi sangat rajin menyumbangkan nasehat,
bahkan luapan emosinya padaku. Ada yang memintaku setia pada jalanku dan
berbuat sebaik-baiknya baik ku untuk jalan kita, ada yang menyuruhku melihat
apa yang terjadi pada hatiku tempo hari, ada yang tak lagi peduli karena bosan
mendengar ceritaku yang endingnya (sudah) terbaca olehnya. Ya, aku tak bisa
melepas mereka, bahkan aku tak bisa tak mendengar kata-kata mereka walaupun
hanya berkata “ah!”. Ku akui, mereka lebih setia daripada kau, juga aku.
“Beberapa kejadian membuatku
takut untuk melangkah”. Ya, benar. Lebih tepatnya, ragu. Bukan ragu padamu,
tapi … ah sudahlah. Tapi tenang saja, aku sedang berusaha meyakinkan diriku
sendiri untuk kembali percaya padamu seperti sebelum semua itu terjadi. Dan
tentu saja aku butuh kau untuk meyakinkanku. Kau bisa, Tuan Dalang??
Tuan Dalang, sekarang aku
merasa sedang dimata-matai oleh mu. Ya, dimata-matai, diintai, dibuntuti, dan
sebagainya. Hampir setiap kata-kataku selalu kau ulangi dan kau sebarkan kepada
orang-orang yang kau kenal. Kadang aku malu, kadang aku kesal, kadang aku
jengkel, kadang aku juga senang saat “ucapanku” kau ulangi, dimana aku sengaja
mengatakannya karena itu sebuah sindiran untuk mu, terlepas kau menyadarinya
atau tidak. Hehehe…jangan marah ya, Tuan Dalang, diam-diam aku juga
memperhatikan gerak-gerikmu.
Hahhh…aku tak tahu akan menjadi
setebal apa surat ku ini. banyak sekali yang ingin ku bagi. Kau bosan ya?
Wajar. Aku bisa maklum.
Aku menulis ini sejak
kepergianmu tempo hari. Hari terahir saat kau menemaniku di kota ini. sungguh
hari yang mematikan, untukku. Dan, kata terakhir surat ini ku pahat tepat beberapa saat sebelum surat ini melayang ke
arahmu. Ya, kau bisa hitung sendiri berapa lama.
Hmmm…baiklah, sepertinya ku
sudahi saja suratku ini. Masih ada lain waktu, bukan? Itupun jika kau
membalasnya. Tapi jika tak ada balasan ku dapat, aku akan terus mengirimimu
kata-kata tak penting ini. Sekedar bercerita dan mencoba lebih jujur saja.
O iya, Tuan Dalang, sampaikan
salam ku untuk wayang kecil kesayanganmu itu. Aku suka lakon dan perwatakannya,
ya walaupun kadang kau menjadi Dalang yang egois. Huh!!
Selamat malam (sore, siang,
atau pagi), Tuan Dalang…
Salam
manis,
Dara
24-31 okt 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar