Rabu, 31 Oktober 2012

Teruntuk, Tuan Dalang...

selamat pagi (siang, sore, atau malam), Dalang…
Lagi-lagi hanya suratku yang menyapa mu. Bersama rindu yang tertinggal sepeninggal mu, tentu saja. Bagaimana kabarmu hari ini, Dalang?? Senang rasanya andai aku tahu kabarmu setiap saat tanpa harus menunggu berhari-hari sampai surat darimu tiba di depan mataku. Hahhh…bukannya aku mengeluh atas semua keadaan ini, tapi… ya kau pun tahu bagaimana rasanya. Sendiri, sepi, kosong, hampa, dan lain-lain, dan lain-lain, dan lain-lain. Kepergianmu bersama 2 temanmu tempo hari menyisakan rindu yang harus ku pikul sampai mataku dan matamu bersatu kembali suatu hari nanti.

 
Malam ini, seperti biasa, kau tak di sampingku. Mungkin kau tengah berjalan menyusuri hutan pinus menuju puncak Gunung Sindoro, atau mungkin tengah menikmati letih mu disalah satu pos pendakian. Selalu, doaku menyertaimu. Tapi, ku harap kau tak melakukan ini lagi saat perjalananmu; kau menghubungiku, membiarkanku mendengar suaramu yang hanya berkata “Hallo…” lalu menghilang begitu saja. Ditengah rindu, kau pikir itu akan mengobati rindu dan kekhawatiranku? Tidak, Tuan Dalang!! Itu justru membunuhku. Alam tak kan ijinkan kau membagi waktu penjelajahanmu untuk ku. Aku tahu itu. Dan kata-kata yang kau layangkan untukku, semakin membuat dadaku sesak.
Malam ini, seperti kemarin dan tempo hari, mataku kosong melongpong di atap rumah, bersama genting yang menggigil, namun kini sendiri, tanpamu, ya…tentu  saja. Tunggu dulu, jangan dulu berhenti membaca surat ini. Aku tahu kau bosan membaca semua keluh kesah ini setiap kali suratku tiba. Rindu, rindu, rindu…aku pun bosan menampung semuanya sendiri tanpa ada yang mengobati. Kau pikir aku akan menyerah? Tidak!! Tentu tidak. Aku hanya ingin sedikit mengurangi rinduku, walau itu mustahil.
Malam ini, aku kembali mendekat kepangkuanmu, (mungkin). Tak pernah ku sangka hari ini kan tiba, dimana aku benar-benar berjalan kearahmu. Tanpa rencana. Aku benar-benar dijalanmu, Tuan Dalang. Jangan terkejut jika esok pagi aku berada tepat di depan pintu kamarmu dan siap memeluk mu erat. Mencium lagi bau tubuhmu, melepas rindu (atau semakin membunuh ku(?) ). Ya, walau lagi-lagi kehadiranku tak pernah disambut tawa. Ya, selalu, kau bertanya “untuk apa?”, padahal sudah jelas ku datang (selalu) untukmu, siapa lagi?! Apa aku tak seharusnya datang padamu? Ditengah perjalanan ini rasanya aku ingin kembali saja kerumah; tidur bersama Pippow, diatas kasur yang nyaman dengan kelip bintang bergelantungan, bukan duduk berjam-jam mengikuti roda yang berputar mengantarkanku ke kotamu. Sudah lama aku menanti hari ini, tapi kau mematahkan semangatku begitu saja. Cukup!!!
Dan, malam ini, malam terahir aku di kotamu. Terimakasih untuk 6 jam yang kita lewati. Walau akhirnya kau (kembali) mengecewakanku. Ya, aku kecewa. Tak usah tanya penyebabnya, aku tak ingin lagi membicarakan itu. Semoga tak terulang (walau mungkin sulit untukmu) !!
Malam itu, kau berkata padaku tentang cita-citamu. Aku tak bisa berbuat banyak, hanya doa, dan ……(hanya ku sebut dalam hati). Banyak kekhawatiranku, terlalu banyak mungkin. Beberapa kejadian membuatku takut untuk melangkah. Kejadian lainnya membuat ku tetap bertahan. Sahabat-sahabatku pun menjadi sangat rajin menyumbangkan nasehat, bahkan luapan emosinya padaku. Ada yang memintaku setia pada jalanku dan berbuat sebaik-baiknya baik ku untuk jalan kita, ada yang menyuruhku melihat apa yang terjadi pada hatiku tempo hari, ada yang tak lagi peduli karena bosan mendengar ceritaku yang endingnya (sudah) terbaca olehnya. Ya, aku tak bisa melepas mereka, bahkan aku tak bisa tak mendengar kata-kata mereka walaupun hanya berkata “ah!”. Ku akui, mereka lebih setia daripada kau, juga aku.
“Beberapa kejadian membuatku takut untuk melangkah”. Ya, benar. Lebih tepatnya, ragu. Bukan ragu padamu, tapi … ah sudahlah. Tapi tenang saja, aku sedang berusaha meyakinkan diriku sendiri untuk kembali percaya padamu seperti sebelum semua itu terjadi. Dan tentu saja aku butuh kau untuk meyakinkanku. Kau bisa, Tuan Dalang??
Tuan Dalang, sekarang aku merasa sedang dimata-matai oleh mu. Ya, dimata-matai, diintai, dibuntuti, dan sebagainya. Hampir setiap kata-kataku selalu kau ulangi dan kau sebarkan kepada orang-orang yang kau kenal. Kadang aku malu, kadang aku kesal, kadang aku jengkel, kadang aku juga senang saat “ucapanku” kau ulangi, dimana aku sengaja mengatakannya karena itu sebuah sindiran untuk mu, terlepas kau menyadarinya atau tidak. Hehehe…jangan marah ya, Tuan Dalang, diam-diam aku juga memperhatikan gerak-gerikmu.
Hahhh…aku tak tahu akan menjadi setebal apa surat ku ini. banyak sekali yang ingin ku bagi. Kau bosan ya? Wajar. Aku bisa maklum.
Aku menulis ini sejak kepergianmu tempo hari. Hari terahir saat kau menemaniku di kota ini. sungguh hari yang mematikan, untukku. Dan, kata terakhir surat ini ku pahat tepat  beberapa saat sebelum surat ini melayang ke arahmu. Ya, kau bisa hitung sendiri berapa lama.
Hmmm…baiklah, sepertinya ku sudahi saja suratku ini. Masih ada lain waktu, bukan? Itupun jika kau membalasnya. Tapi jika tak ada balasan ku dapat, aku akan terus mengirimimu kata-kata tak penting ini. Sekedar bercerita dan mencoba lebih jujur saja.
O iya, Tuan Dalang, sampaikan salam ku untuk wayang kecil kesayanganmu itu. Aku suka lakon dan perwatakannya, ya walaupun kadang kau menjadi Dalang yang egois. Huh!!
Selamat malam (sore, siang, atau pagi), Tuan Dalang…




                                                                  

                                                                   Salam manis,
Dara
24-31 okt 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar