Selasa, 22 Mei 2012

behind the wall #2


#2
 
Yupz, hari ini 20 Mei 2012. Bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Acara Talkshow bersama salah satu penulis novel Best Seller Indonesia, sekaligus puncak acara audisi penulis muda itu. Ya ya ya… Saya tak lagi berharap pada sebuah tropy atau penghargaan apapun itu. Saya cukup putus asa, bahkan sangat putus asa. Ini audisi karya tulis saya yang pertama. Dan saya mengacaukannya. “Terimakasih atas kecerobohannya”, ya, saya hanya bisa menerima makian dari diri saya yang lain. Owh god!!! Sampai hari ini pun saya masih terpikir betapa cerobohnya saya. Bahkan saat melihat antrian peserta lain didepan gedung dimana acara puncak itu diselenggarakan. Menyesal.

Oke, saya ke tempat ini bukan untuk mencari sebuah tropy, bukan untuk mencari sebuah hadiah yang tak seberapa. Saya mencari sesuatu yang bisa saya ‘manfaatkan’ untuk menjadi apa yang saya inginkan. Kecerobohan tempo hari  bukan untuk terus dipikirkan, cukup dijadikan pelajaran penting yang harus selalu menjadi peringatan. Jangan ceroboh, jangan malas untuk membaca berulang-ulang hasil tulisan, dan jangan terlalu cepat yakin bahawa apa yang kita tulis itu benar dan baik.

Acara dimulai… sang penulis best seller  pun sudah mulai berbagi pengalamannya yang menarik. Teman disebelah saya yang juga termasuk salah satu peserta audisi sempat berbisik “tu orang enak banget yak idupnya” saat mendengar si Penulis Negeri 5 Menara itu menceritakan tentang beasiswa-beasiswa yang didapatnya, juga kesempatan berkeliling 30 negara, mungkin lebih. Saya hanya menjawab dalam hati, “gampang itu sekarang, dulunya mungkin saat dia menulis, dia pernah mengalami hal yang membuatnya lebih depresi dari kejadian kesalahan penulisan tanggal dicerpen seperti ku. Siapa yang tahu, kan?” masih sedikit kesal atas kecerobohan beberapa hari lalu.

Tiba saat mengumuman pemenang audisi. Entah kenapa saya begitu yakin bahwa teman disebelah saya ini akan menjadi salah satu pemenangnya. Mungkin karena gaya yang dia punya. Gaya bicara dan bahasa yang dia pakai sehari-hari, ya semacam ada sesuatu yang saya lihat. Sebuah bibit talenta.

Dan benar saja, namanya lah yang pertama keluar sebagai pemenang audisi penulis muda di kota terpencil ini. Dengan hanya 1 kata yang keluar darinya, “ME??” dan muka bengong yang khas darinya, muka bego planga-plongo. Ya dia mungkin merasa sedang berada di dunia mimpi atau apalah itu. Kategori ini saya benar-benar menyerah, dan memang benar. Nama saya tak ada didaftar pemenang.

Cerpen? Lewat. Dan saya tidak lolos sebagai penulis cerpen. Tak ada sedikitpun kecewa, ya, karena saya tahu betul kesalahan dan kekurangan saya. Dan saya benar-benar tidak ada sedikit pun harapan untuk menjadi salah satu dari mereka yang sudah ‘resmi’ menjadi ‘penulis’.
Tanpa saya sadari, seorang wanita yang dipercaya menjadi seorang Master of Ceremony atau MC menyebutkan satu nama, “Sally Aryanti Gustina” sebagai pemenang pertama. Apa? Siapa? Bahkan saya lupa kapan terakhir kali “Gustina” itu disebutkan lengkap sebagai kesatuan nama seperti itu.

Satu ketidaksadaran. Ya, saya berada diantara sang pemenang. “Sajak Ranjang Reot membawa saya untuk berada di antara mereka?? Benarkah??”  berpikir dalam hati. Tapi ternyata bukan sajak blablabla yang telah mengangkat saya, melainkan si mungil “I”. Sebait puisi kecil yang ternyata besar dimata mereka yang membaca, yang sama sekali tak dibumbui niat, dan harapan untuk menjadi yang ‘terbesar’.

3 baris kata yang berjejer begitu “Kartini”, katanya.

Satu lagi pelajaran, jangan egois. Saya bukan pembaca, saya bukan penilai. Orang lain yang membaca, orang lain yang menilai, orang lain yang (mungkin) lebih peka. Saat saya berbicara dengan tangan, orang lain membacanya dengan hati atau dengan kacamatanya sendiri yang membuat segalanya menjadi berbeda pada setiap mata.
Sama seperti “Man Jadda Wa Jada”, yang menjadi kata ajaib. Tak banyak bicara, namun berbobot.

Tak perlu jadi manusia yang ‘banyak bicara’ untuk menjadi ‘besar’



 
*"PUISI adalah mengungkapkan makna sebanyak mungkin dalam kata yang sesedikit mungkin”
-Hawe Setiawan- , (Workshop Sastra dan Bahasa Sunda, April 2012)


Subang, 20 Mei  2012
-esage-

2 komentar: