Minggu, 29 Juli 2012

PUISI


Teringat jelas dalam benak ku. 15 tahun yang lalu. saat ibu masih terlihat sebagai perempuan. Saat itu ibu tengah mengajar tari anak-anak di desaku. Dan si kecil Fatma, aku, hanya memandanginya sambil memakan gula-gula kapas, duduk bersila memunggungi cermin besar dihadapan para penari. Tak mengerti apa yang ibu dan kakak-kakak itu lakukan. Memakai selendang yang diikat dipinggang, berlenggak-lenggok, kiri, kanan. Jari-jarinya lentik gemulai. Matanya melirik, kiri, kanan. Pantatnya bergoyang. Ibu bilang itu menari. Aku tak tahu, untuk apa orang menari?? Ibu malah tak pernah mengajariku untuk menari atau sekedar menyuruhku untuk mengikuti kakak-kakak itu berlatih di garasi yang disulap jadi “sanggar” itu. “Mengenalkan” ku dengan tarian pun tak pernah.
 
Suatu hari, saat semua orang disibukkan dengan agenda Negara, peringatan HUT  Republik Negara ini yang tinggal dua pekan lagi. ibu pun sibuk mempersiapkan anak didiknya agar berlatih lebih semangat. Ditengah kesibukannya ibu tiba-tiba menghampiri gadis kecil berusia 5 tahun ini, aku. Dengan 1 map tebal ditangannya, ibu berjalan ke arahku.
“Fatma, tidak mau ikut menari, nak?”, tanya nya. Dan aku hanya menggelengkan kepala.
Ibu hanya tersenyum, “ibu punya ini untuk Fat”, ibu mwmbuka map itu. Terlihat berlembar-lembar kertas berisi tulisan didalamnya.
“apa itu?” telunjuk rasa coklat ku menunjuk ke arah kertas-kertas itu.
“ini puisi, nak” ibu mengambil satu lembar dan memperlihatkannya padaku

“ka-e-ke..el-a-la(er-a-ra)…we-a-wa…ng. kelawang(kerawang). Be-e-be…ka-a-ka…es-i-si. Bekasi. Kelawang-bekasi??”  maklum aku baru saja akan masuk sekolah dasar taun ini.

“iya, ini puisinya Chairil Anwar. Dulu ibu pernah juara 1 baca puisi ini waktu SMP, pas acara tujuh belasan didesa dulu.”

“puisi itu apa?” sambil menjilat jari-jari yang berlumuran coklat. Kata yang asing, yang aku tahu hanya pussy, panggilan untuk kucing.

“puisi itu kata-kata yang indah. Kata-kata yang cantik.” Sesederhana itu, tapi anak berusia 5 tahun tahu apa?

“cantik? Mana? Fatma lebih cantik, ibu juga cantik” dengan wajah datar dan bibir penuh lumeran coklat

“fatma mau baca puisi?” Tanya nya

“Fat kan belum bisa baca. Ka-a-ka…em-i-mi…kami. Ye-a-ya…ng…yang.” Sambil terus mengeja dalam bisik

“nanti ibu ajarkan” ibu membelai rambut ikalku

“…” aku mengangguk. Aku tak tahu kenapa aku mengangguk.

Keesokan harinya, ibu membiarkan kakak-kakak itu menari sendiri tanpa didampingi ibu. Ibu malah mengajariku membaca “puisi”.

“kami yang kini terbaring antara Kerawang-Bekasi, tak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi, bla…bla…bla…” dengan lantang ibu mendeklamasikan si Kerawang-Bekasi.

Kakak-kakak yang tengah menari malah ikut menonton ibu bersamaku, dan ibu tak melarang (atau mungkin ibu tak menyadari). Kami semua bersila dihadapan perempuan yang seketika berubah seperti seorang pejuang.

“Prok-pok-prok…prok-prok-prok…” orang-orang bertepuk tangan setelah ibu menyelesaikan Kerawang-Bekasi itu. Aku ya ikut bertepuk tangan saja. Hehehe…

“lho, kalian bukannya latihan. Hayo sana lanjut latihannya”

“hehehe…hehehe…” kakak-kakak itu malah cengengesan, dan melanjutkan latihannya.

“nah, baca puisi itu seperti ibu tadi. Fat bisa?”

Aku mengangguk. Lho, kenapa mengangguk? Aku bahkan tak tau apa-apa.

Entah roh apa yang merasuki ku. Si Fatma kecil ini naik panggung tanggal 17  Agustus 1996 dengan percaya diri. Berdandan ala pejuang jaman ’45.

Suara mungilku saat itu mampu meredam semua suara yang ada disekitar. Semua mata tertuju pada Fatma kecil. Tak ada 1 orangpun yang bicara. Hening.

“…..Menjaga Bung Kalno, Menjaga Bung Hatta, Menjaga Bung Syahlil…” beberapa tersenyum geli mendengar nama Bung Karno menjadi “Bung Kalno” dan Bung Syahrir menjadi “Syahlil”, maklum aku masih belum fasih mengucap “R” diusia 5 tahun.

Setelah selesai, ibu dan ayahku yang berdiri di paling belakang kerumunan penonton terlihat bangga sekaligus geli. Dan ku lihat ibu menangis dalam senyum dan tepuk tangannya.

Kini dimataku ibu bukan lagi seorang perempuan, dia wanita. Wanita besar.




*terimakasih telah mengenalkanku dengan Puisi, ibu.
12 July 2012
-esage-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar