Minggu, 10 Juni 2012

si Matahari Bisu


17.40 tepian danau ditemani senja berpulang
Akhirnya matahari bisu ku mau kembali bicara. Sesuatu yang sudah lama ku nantikan. Ya, sejak berbulan-bulan lamanya.

12.39 seusai makan siangku yang tak lebih dari 4 sendok nasi. Perbincangan 39 menit 19 detik itu menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Berbicara  padanya tak ubahnya sebuah perbincangan seorang wartawan dan narasumber, atau lebih tepatnya lagi, seperti dialog seorang ibu dengan anaknya yang ternyata seorang pengidap autis.
Apapun yang ku tanyakan hanya terjawab “iya”, dan “tidak tahu”. Termasuk pertanyaan kesekian ku yang menanyakan tentang pembelaan atas menghilangnya dia selama ini, yang hanya mendapat respon “hmmm”.

Tak ada satupun pertanyaan yang mendapat jawaban memuaskan. Selalu bersabar. Semua ucapanku selalu diulanginya. Sesekali setengah berteriak. Dan entah apa yang dikatakannya. Termasuk saat ku dengar tiba-tiba dia mengucapkan “Rocket Terbang”.
            “Rocket terbang?”
            “rock…et… ter…bang” sedikit terbata, suaranya melemah
            “maksudnya?”
            “iya”
            “kenapa?” tanyaku perlahan
            “kecoak” jawabnya datar
“kamu kenapa?” tanyaku lembut
“aku gak kenapa-napa” jawabnya manja
Hening sejenak……
“kamu lagi apa?” layaknya pertanyaan seorang guru taman kanak-kanak kepada muridnya
            “hhhhh…duduk……” jawabnya tegas

BRAKKK!!! Tiba-tiba terdengar suara sesuatu yang berat dan besar jatuh dari ujung telpon.
“………………” tiba-tiba sunyi
Baru saja aku akan angkat bicara dan mengajukan pertanyaan ringan yang lain, tiba-tiba dia bersuara aneh lagi.
Ditengah kesabaranku yang masih bertahan, tetes demi tetes bulir embun hangat meluncur dari pelupuk mataku.
Selama ini aku berusaha memintanya, dan membujuknya untuk berbicara, tapi tak kunjung terlaksana. Siang ini, harusnya banyak yang bisa kami bicarakan. Bukan sekedar dialog-dialog pemulihan mental si autis.
            “shhha…yang…” seperti rintihan orang sekarat
            “ya?”
            “da…dah bundaaa… sampai jum…pa” dan suara-suara aneh kembali keluar dari mulutnya
            “……” hanya mencoba menanggapi
Semuanya terasa aneh. Apa aku tengah berada disebuah rumah sakit jiwa??
Beberapa pertanyaan kecil tetap ku layangkan untuk pria 25 tahun di seberang sana. Walau ku tahu tak akan ada jawaban yang bisa memuaskan hatiku. Hanya mencoba mengembalikan sikapnya yang dulu tenang, namun kocak dan menyenangkakn. Semua usahaku akhirnya terjawab dengan perkataan “aku mati, dek. Da…dah… sampai jump…pa”.
Setelah beberapa detik, hanya bunyi berdengung terputus-putus dari suara telpon yang terputus.



Sbg, 6 June 2012
-esage-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar