“Bagaimana jika ku (masih) mencintai
orang yang telah mempertemukan aku dengan suamiku, Juga suami ku yang (masih)
memikirkan gadis yang dulu sangat dicintainya?”
Hari
ini adalah tepat tahun ke tiga pernikahan kami; aku dan suami ku. 3 tahun
berlalu tanpa tangisan seorang buah hati. Bukan karena salah satu dari kami
yang ‘lemah’. Kami terlalu sibuk dengan pekerjaan dan mimpi masing-masing.
Dirga,
suamiku, sudah tak ada di rumah sejak fajar hingga nyaris tengah malam, nyaris
setiap hari. Sedangkan aku, aku sibuk mengejar impian ku sebagai seorang
penulis. Dan, ya, sekarang aku seorang penulis. Penulis yang selalu dikejar
deadline, and I love my work! Bukan kesibukan yang membuat kami bertahan tanpa
buah hati, bukan juga karena ‘siapa yang mandul’. Kami memang tak berusaha, dan
karena
***
Tepat
3 tahun yang lalu kami menggelar pernikahan cukup mewah di sebuah hotel
berbintang di kota ini. Pernikahan yang didasari cinta kasih sudah sepantasnya
mendapat perlakuan istimewa. Pernikahan yang hanya sekali seumur hidup, tentu
saja membuat kami ingin melakukannya dengan sangat baik, special, dan sempurna.
Dia mencintaiku sepenuh hati, begitupun aku. Menjalin hubungan pacaran seperti
yang lain? Kami melewatinya dengan sangat bahagia, suka dan duka kami bagi
bersama. 1 tahun saja, cukup untuk kami saling mengenal luar dalam. Dia
melamarku, dan tanggal 1 Januari 3 tahun lalu kami menikah.
Kalian
pikir apa yang kami lakukan saat malam pertama? Kami hanya membaca sebuah
bacaan di hadapan kami. Dia, suami (baru) ku, asik melihat-lihat agendanya,
laporan pekerjaannya, dll. Aku? Aku asik di depan laptop, menyelesaikan hutang
tulisan ku kepada penerbit yang masih menggunung-gunung karena sebelumnya aku
sibuk mengurus persiapan pernikahan.. Tak pernah ada ‘malam pertama’ dalam kehidupan
rumah tangga kami. Tak ada malam ke dua, ke tiga, keseratus, keseribu, tidak!
Tidak ada! Kalian pikir kami akan memiliki anak dari kebiasaan seperti itu?
Kalian pikir aku pecinta sesama jenis hingga aku tak mau melakukannya dengan
suamiku sendiri? Tidak, aku mencintai suamiku lebih dari hidupku, begitupun
suamiku terhadapku. Sekali lagi, kami saling mencintai. Tapi …
***
Hari
ini, pada hari ulang tahun pernikahan kami yang ke tiga, aku menyiapkan makan
malam spesial untuk Dirga. Dia pun berjanji akan pulang cepat, sebelum senja
berpulang. Dan benar, tepat pukul 18.12 mobilnya sudah terparkir rapi di
garasi. Ku tengok, seorang lelaki jangkung kekar keluar dari dalamnya dengan
wajah berbinar melihat sambutan hangat dari senyumku di daun pintu.
“assalamualaiakum…”
“wa’alaikumsalam…”
jawabku sambil meraih tangannya, dan ku cium punggung tangannya.
“kali
ini aku tepat janji kan, sayang?” tangannya melingkar di pinggangku juga sebuah
kecupan dikening
“iya
mas, coba kalau setiap hari…” dan dia tersenyum, kami pun berlalu masuk ke
dalam rumah.
Aku
menyiapkan makan malam selagi Dirga mandi. Di meja makan bulat ini tersimpan
rapi semua makanan kesukaan suamiku. Makanan rumahan yang sudah lama tak pernah
ku masak. Ya, karena kami tak pernah makan di rumah. Sebuah lilin cantik juga
menambah indah malam ini. Dirga mematikan lampu di sekitar meja makan, hanya
lilin dan cinta kami yang menerangi malam ini. selesai menyantap semua yang ada
di atas meja, Aku memulai pembicaraan yang lebih serius.
“sampai
kapan kita akan seperti ini, mas?” tanyaku tenang dengan suara rendah, sengaja
ku buat semerdu mungkin agar Dirga tak terkejut dengan pertanyaan itu.
Dirga terdiam, cukup lama. Mungkin karena aku tak sabar menanti jawabannya, 10
detik pun terasa 1 jam. Akhirnya ia menarik nafas panjang, menahannya, dan
terbuang; seperti cinta.
“baiknya
kau tanya hatimu juga, Fat” jawabnya dengan mata kosong menatap lilin yang
tinggal setengah.
“aku
lelah, mas. 1 tahun aku berusaha mencintaimu lebih dan lebih. Hingga kita menikah,
dan memang aku mencintaimu, memang. 3 tahun setelahnya, hingga detik ini aku
berada tepat di depan matamu yang mulai nanar, aku lelah. Lelah membohongi
hatiku, cintaku pada Badai terlalu besar, melebihi cintaku padamu, mas. Aku
tahu, cintamu pada Sekar pun tak akan bisa tergantikan oleh hadirku dihari
tuamu kelak. Sekar yang selama ini ada dalam mimpi mu, mas. Cintamu padaku tak
pernah sebesar cintamu pada cinta pertamamu itu, mas.” emosiku mulai tak
terkendali, nafasku beradu dengan kata, tanganku gemetar.
“………………”
Dirga hanya terdiam
“kenapa
diam saja? Lakukan sesuatu!“ nada bicaraku mulai meninggi
“lalu
apa? Aku harus kembali pada Sekar, da kau akan kembali pada Badai?? Badai sudah
menjadi suami orang, Fat. Dan aku tak mungkin kembali pada Sekar” ku rasa
perang segera dimulai…
“tentu
saja aku tak akan kembali padanya. Aku tak seburuk itu, mengharapkan suami
orang. Hah!! Aku hanya ingin membunuh diriku sendiri dengan kesendirian, dan
tanpa beban sebuah kesalahan dan dosa terhadap suamiku.”
“tidak,
Fat. Aku tak akan kembali pada Sekar!! Aku mencintaimu!”
“kau
tak akan kembali padanya, tapi kau tak pernah memberiku cinta dari hatimu,
hatimu mas. Hanya Sekar, Sekar, dan Sekar yang ada dalam hati dan otak mu.
Hah!! Kita sengaja menyibukan diri, bukan semata-mata tuntutan pekerjaan.
Alasan terlalu sibuk hingga tak sempat berusaha untuk memiliki keturunan itu
adalah alasan terbodoh, mas. Jujur pada dirimu, mas, Sekar dan Badai
menghalangi semuanya!!” aku mulai beranjak dari meja makan, Dirga pun mengikuti
ku.
“FATMA!!
Berhenti!! Baiklah, lakukan apa saja yang kau inginkan!”
“ceraikan
aku, dan kembalilah pada Sekarmu!!” suaraku merendah, dan berlalu
11 Agustus 2012
*dimuat di tintahijau.com edisi Minggu, 18 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar