Pagi itu begitu sejuk.
Mbah Kakung menyeruput kopi tubruknya perlahan di teras depan rumah, ditemani si
Bejo. Gerombolan anak SD semangat menuju sekolah, malah ada yang berlari, ndak sabar pingin hormat sama sangsaka
merah putih sambil nyanyi Indonesia Raya di sekolahnya.
“Pagi Pakde…” sapa Pak Gun, guru honorer yang sudah lebih dari 20 tahun mengabdi jadi guru SMA di desa.
“Ya, pagi dik Gun!! ”
jawab Mbah Kakung sambil melambaikan tangannya
“Wilujeng enjing1, Mbah Pay!!!” teriak seorang pelajar
SMA yang sengaja melambatkan laju sepedanya saat melintas depan rumah si Mbah.
“Wooo…enjing Kopral!! Sudah
merdeka belum pagi ini, Jang?” kata si Mbah dengan logat Jawa yang masih kental.
“hahahaa…nambah dua
kali, Jenderal!!” jawab pemuda jangkung itu sambil berlalu
“hahahaaa…” tawanya
renyah seperti gorengan bakwan buatan Airin, anak bungsunya.
Tiba-tiba banyak motor
yang melintasi depan rumah si Mbah. Orang-orangnya pake baju seragam warna
hitam, mbuh2 tulisannya
apa. Yang jelas mereka bawa bendera besar-besar sambil menyerukan semacam
yel-yel.
“lho…lho…lho…ada apa
toh ini?” Mbah Pay alias Mbah Paidi heran, ia beranjak dari tempat duduknya, dan
berjalan ke arah pagar rumahnya. “pagi-pagi bukannya pada ngantor gitu lho,
malah bikin ribut!! Ckckck…” Mbah Pay pun kembali ke kursi rotannya sambil
geleng-geleng dan ngedumel.
Apalagi yang bisa
dilakukan eks pejuang itu sekarang? Selain menikmati kopi, uang pensiun yang
tak seberapa, dan ngobrol dengan teman setianya si Bejo, perkutut abu-abu yang
dulu nyasar dan nabrak jendela rumahnya. si Bejo itu cuma burung tapi kayak ngerti apa yang diomongin si Mbah.
Tiap Mbah Pay ini ngomong sendiri, nah si Bejo suka ikut-ikut menimpali. Ya
seperti pagi ini, saat si Mbah tiba-tiba uring-uringan.
Slrrruupp…ck..ahhh…
“Dari dulu sampe
sekarang perang masih saja ada. Jadi, buat apa dulu capek-capek ngusir wong
Londo, buang-buang nyawa, teriak-teriak bilang MERDEKA!! MERDEKA!! MERDEKA!!
Lha wong sekarang saja masih banyak yang pingin merdeka kok”. Uring-uringan si
Mbah semakin menjadi sesaat setelah melintas lagi sekelompok orang ber”seragam”
lengkap; caping, kaos oblong, sambil angkat-angkat cangkul dan parangnya.
“e,,e,,e,,…coba lihat
itu, Bejo! Itu, mereka itu, mereka itu mau minta merdeka juga. Hah, merdeka kok
dipinta?!” lanjutnya.
“prrkututututuuttt…..tut…”
si Bejo sok-sok ikut njawab
“saya berangkat ya pak”
tiba-tiba Airin datang dan pamitan sambil mencium tangan ayahnya.
“hmmm…iya, hati-hati
kamu nduk. Ajarkan pelajaran yang baik sama anak muridmu, pastikan mereka paham
betul apa itu pancasila. Bener itu kata lagu, pancasila itu dasar, pedoman lho
itu” masih dengan nada penuh emosi
“prrrrkutututuuuttt….tut…”
lagi-lagi si Bejo ikut-ikutan ngomong.
“tapi saya kan guru
biologi pak, Pancasila itu bagiannya guru lain. Masa saya nyerobot jatah orang?
Lha kalo masalah pancasila saja harus saya yang jelaskan, guru Kewarganegaraan
kerjanya apa? Nangkring-nangkring saja? Minum kopi sambil klepas-klepus3 saja? Shopping? Makan gaji buta? Hah, buta
ijo saja gak mau makan gajih4-nya
sendiri” bibir tipisnya seakan tak bisa berhenti bergoyang.
“Nah, nah, nah…ini nih,
yang begini ini. mentang-mentang sudah ada bagiannya sendiri-sendiri jadi sudah
ndak mau ngurusi yang bukan bagiannya, padahal itu penting buat semua. Nduk, pancasila itu bukan sebatas
pelajaran di sekolah saja, tapi ….”
“ya sudah, ya sudah, saya
harus cepat-cepat berangkat pak. Ini Senin, ada upacara bendera, saya gak mau
kehilangan momen berharga, hormat sama merah-putih. Saya pergi dulu ya pak.
Assalamualaikum…” cepat-cepat Airin berangkat, menghindari ocehan sang ayah
yang terus menasehatinya. Mengibaskan rambut hitam panjangnya, dan menghilang
dari pandangan, terhalang pohon rambutan yang baru saja berbunga.
Slrrruuuppp…ck…ahhh…
“sekarang, buat apa
hormat sama bendera? Panas-panasan, sampe ada yang pingsan, malah di Pasuruan
sana kompakan kesurupan masal waktu hormat sama bendera. Bukan itu, bukan.
Hormat sama sangsaka merah putih itu artinya menghormati bangsa sendiri, bukan
memberi “hormat grak!!” “ lanjutnya dengan nada yang sudah sedikit mereda.
Slrrruppp…ck…ahhh….
Slrrp…slrrp…ck…ck…ck…slrrrrrrrrpp
ah!!
“nduuuk…Laraaas…” Mbah
Pay memanggil cucunya yang masih saja betah di kamar
“prrrkutututuuut…tut..tut…”
si Bejo genit, ikut panggil-panggil Laras.
“iya mbah…” teriaknya
dari dalam kamar
“buatkan mbah kopi
lagi, kopinya habis, nduk” lanjutnya
“jangan banyak-banyak
minum kopi mbah, gak baik!!” suaranya balapan dengan suara musik dan suara
nyanyian Indonesia Raya dari SD di seberang jalan.
“ayo nduk, jangan
mbantah kalo disuruh orang tua. Mumpung kopi sudah jadi milik kita sepenuhnya.
Dulu kopi itu cuma boleh diminum sama orang-orang sana, pribumi minum air
kobokan saja. Ayo nduk, cantik” rayunya…
“huh!!”
Ya, baiklah, aku akan
buatkan kopi untuk Mbah Kakung dulu. Ya, karena kopi yang bisa memerdekakan
hati si Mbah. Dan tulisan ini ku simpan saja sampai semua orang di Negeri ini benar-benar
merdeka, semerdeka kopi tubruk si Mbah.
Selamat hari Pahlawan,
Kopi.
*1Wilujeng
enjing: selamat pagi
*2Mbuh:
tidak tahu
*3Klepas-klepus:
merokok dengan nikmat, asapnya disemburkan kemana-mana
*4Gajih:
lemak
-esage-
10-11-12
* dimuat di tuntahijau.com edisi Minggu, 11 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar